Lokasi:
Alor, Nusa Tenggara Timur
Tahun Keberangkatan:
2011
Ketua Panitia:
Mirzadelya Devanastya
Kurator:
Adinda Nuha
ALOR: LIVING CELEBRATION
Gerak dan musik yang menyatu dalam keseharian dan arsitektur Suku Abui. Suku ini mempunyai mesbah tempat menumpuk 3 batu yang melambangkan 3 suku dalam struktur masyarakat Abui. Kebersamaan menjadi salah satu nilai penting pada suku ini, yang tercerminkan pada Tari Lego-Lego yang memusat pada mesbah.
MESBAH SEBAGAI PENENTU POLA KAMPUNG
Mesbah adalah suatu manifestasi arsitektur yang penting bagi masyarakat Abui di Alor. Mesbah merupakan medium penghubung antara masyarakat Abui di Alor, dengan roh dewa atau leluhur. Mesbah berwujud sebuah lingkaran batu kali bertumpuk yang mempunyai ketinggian sekitar 1 meter. Di tengah-tengah mesbah ditanam 3 batu dalam posisi berdiri, yang menyimbolkan ketiga suku dalam struktur masyarakat Abui. Kini masyarakat Abui sudah banyak yang memeluk agama katolik, namun keberadaan mesbah tidak dapat mereka tinggalkan dan masih disucikan, sebab mereka mempercayai bahwa mesbah merupakan medium penghubung antara mereka dan roh dewa atau leluhur.
RUMAH FALA
Rumah tinggal suku Abui, bertingkat 4 dengan tingkat 4 sebagai ruang paling privat.
Kolong : tempat tinggal ayam, kambing, dan bahan material.
Tingkat 1 : dinamakan Liktaha (bale-bale besar), berfungsi untuk menerima tamu.
Tingkat 2 : dinamakan fala homi (di dalam rumah).
Tingkat 3 : dinamakan akui foka (gudang makanan)
Aweri atau tangga selalu berada di sebelah timur rumah fala. Hal ini dipercaya sebagai syarat keberuntungan panen nantinya.
Likhabang dan liktaha berada di sisi luar likhome, diperuntukkan bagi para tamu yang baru datang. Sedangkan likhome diberikan bagi pemilik rumah dan tetua ketika berkumpul. Likhome juga berfungsi sebagai area bertinggal (living area).
Pola gerak dan berkumpul yang terjadi di dalamnya akan berbentuk sirkular.
MEMBANGUN RUMAH FALA
Dalam pembangunannya Fala sama sekali tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan teknik ikat.
Tali sebagai pengikat sambungan di rumah fala ini bejumlah 4 jenis dengan 3 jenis tali yang mempunyai fungsi dan kekuatan yang sama. Tiga jenis tali tersebut adalah :
vatkave, tali yang paling besar diameternya, terbuat dari kulit kayu pohon libung
reifunga, tali yang terbuat dari rotan
makiling, tali yang terbuat dari kulit bambu
Jenis lainnya adalah tali lawai, tali yang terbuat dari alang-alang dan hanya digunakan untuk sambungan alang-alang karena tali ini adalah tali yang paling lemah di antara yang lainnya.
RUMAH HELANGDOHI
Peletakan pintu naik rumah dari utara dan keluar lewat selatan pada rumah tradisional di Kampung Helangdohi secara fungsional dimaksudkan agar sirkulasi dalam ruang yang kecil ini tidak tersendat. Dalam nilai-nilai adat yang diyakini suku di Helangdohi, pergiliran arah masuk dari utara membawa keberuntungan. Keberlanjutan gerak juga merepresentasikan kehidupan yang terus mengalir. Rumah – rumah tradisional Helangdohi sangat memperhatikan sumbu – sumbu arah angin, setiap sumbu memiliki maknanya sendiri. Peletakan pintu naik rumah dari utara dan keluar lewat selatan pada rumah tradisional di Kampung Helangdohi secara fungsional dimaksudkan agar sirkulasi dalam ruang yang kecil ini tidak tersendat.
Timur diperuntukkan bagi lelaki dan barat bagi wanita. Masing-masing gender melakukan perannya di area masing-masing. Jika salah satunya dilanggar maka akan terkena hukum adat. Perempuan menempati bagian dalam ruang sedangkan laki-laki di jalur sirkulasi yang bertemu langsung dengan pintu. Hal ini merupakan bentuk proteksi yang diberikan terhadap kaum wanita. Di sisi lain, pola pemisahan gender ini juga merepresentasikan peran wanita yang masih diartikan dalam bentuk pekerjaan rumah saja.
Lain lagi dengan pemaknaan ornamen-ornamen pada bagian struktur rumah tradisional di Kampung Bampalola. Bagian rumah yang unik adalah pada tangga tempat menaiki rumah. Pada tangga tersebut terdapat patung naga yang harus disentuh sebagai tanda perizinan masuk ke dalam rumah. Naga sebagai makhluk yang dimitoskan sebagai penjaga serta penyelamat kampung ditinggikan kedudukannya.
RUMAH ADAT
Di lokasi sekitar tempat ritual dimana mesbah berada, terdapat dua rumah adat atau umah dewa, yaitu Kolwat dan Kanuruat. Untuk memasuki setiap rumahnya, diperlukan ritual khusus termasuk penyembelihan hewan yang berbeda untuk setiap rumahnya. Dengan perbedaan hewan sembelihan ini, masyarakat Takpala, kampung dimana pusat penelitian berlangsung, percaya bahwa leluhur yang telah membangun kedua rumah adat sebenanya telah meramalkan akan adanya dua aliran agama yang akan dianut oleh keturunan mereka, yaitu agama kristen / katolik dan agama islam. Dan, karenanya pesan perdamaian antar agama telah sejak lama diwariskan oleh leluhur untuk terus dijaga oleh keturunan – keturunan mereka selanjutnya.
Kolwat, rumah yang dapat dimasuki setiap anggota masyarakat dalam kampung. Hewan yang disembelih untuk dimakan bersama di dalam rumah ini adalah ayam dan kambing. Rumah Kolwat hanya berfungsi saat ada upacara – upacara adat. Di dalam rumah yang berbentuk bujur sangkar ini tersimpan alat – alat yang digunakan untuk perlengkapan upacara adat. Dari tampilan fisik, rumah ini merupakan rumah dengan cat berwarna hitam.
Kanuruat, rumah yang hanya dapat dimasuki tetua adat. Hewan yang disembelih saat memasuki rumah ini adalah babi. Berbeda dengan rumah Kolwat, rumah Kanuruat tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang. Di dalam rumah ini tersimpan benda – benda pusaka seperti moko, periuk, tombak, dan perlengkapan upacara adat lainnya, yang disimpan dan diwariskan secara turun temurun. Rumah ini adalah rumah dewa dengan berwarna cat putih.