KOROWAI
Suku Korowai merupakan suku di Papua yang baru ditemukan sejak tahun 1970. Suku Kurowai yang bermukim di selatan Papua, mulai mendapat perhatian dari pemerintah sekitar tahun 1979 dengan mengintervensi mereka di kawasan Yaniruma. Namun suku Korowai masih ada yang memilih untuk tinggal di atas pohon. Terdapat dua jenis bentuk arsitektur disini; dusun (di atas pohon) dan resettlement (di atas tanah). Penduduk mengokupasi daerah kekuasaan masing-masing (dusun) yang dibatasi oleh batas geografis seperti sungai.
Klufo Fyumanop adalah sebutan untuk orang dari suku Korowai. Klufo artinya orang, sedangkan Fyumanop artinya jalan diatas tulang kaki. Klufo Fyumanop diartikan sebagai orang yang biasa berjalan kaki. Mereka hidup menyebar di hutan Papua, berkelompok sesuai marga/famili masing-masing.
DUSUN/BOLUF KOROWAI
WAHONOM
Wahonom adalah nama sebuah dusun yang terletak diantara Mabul dan Yafufla. Biasanya, nama sebuah dusun diambil dari nama kepala keluarga yang tinggal di dusun tersebut. Dusun merupakan daerah yang lebih tradisional dibandingkan dengan kampung, Mereka masih tinggal diatas pohon, dengan pakaian yang sangat khas untuk menutupi beberapa bagian tubuh.
Dusun sangat erat kaitannya dengan sebuah territory karena menyangkut batas antar dusun.Suatu keadaan dimana kehidupan singular per famili terjadi, dengan sungai dan pohon besar yang menjadi batas diantaranya. Walaupun batas ini bukan merupakan batas yang signifikan, tetapi suku Korowai dapat mengetahui perbedaan ketika melewati batas tersebut.
GOLOHAIM
Golohaim atau rumah pohon ini merupakan sebuah karya suku Korowai yang merespon alam. Nyamuk, serangga dan hewan melata yang menjadi ancaman bagi mereka sehingga mereka menaikan rumah sedemikian tingginya, bukan hewan buas. Hewan berukuran kecil di tengah hutan rawa yang mendorong mereka menatap langit sebagai jawaban. Golohaim biasanya dihuni lebih dari satu keluarga.
Lain orang lain cerita yang kami dapatkan, beberapa mengatakan tidak tahu, beberapa mengatakan untuk menghindari musuh. Arsitektur tanpa disadari memaksa musuh harus menaiki tangga coakan. Usaha musuh yang menaiki dengan diam-diam, tidak dapat menutupi guncangan rumah yang seolah menjadi alarm bagi sang pemilik. Perang yang mudah terjadi membuat kami dapat memahami pertahanan yang mereka bentuk. Lain lagi, untuk pemandangan katanya, memang karena keindahan pandangan dari atas rumah pohon merupakan suguhan yang menawan. Udara tanpa dihalangi dahan-dahan pohon di sekitar mengalir masuk. Menatap langit tanpa perlu mendongakkan kepala ke langit. Seolah memiliki elevasi yang sama dengan langit. Rata-rata ketinggian golohaim 5-7 meter di atas tanah, namun ada juga yang mencapai ketinggian 30 meter.
TUNGKU
Suku Korowai tidur dekat tungku api yang menyala kecil untuk melindungi mereka dari suhu dingin di malam hari. Alasan lain mereka tidur dekat tungku adalah kecenderungan untuk mengobrol sambil makan bersama dekat tungku. Kebanyakan mereka lebih memilih untuk melanjutkan tidur disana daripada berpindah ke tempat lain. Tungku menjadi titik pusat berkumpulnya penghuni rumah. Jumlah tungku yang ada dalam rumah juga menunjukkan jumalh keluarga yang menghuni rumah tersebut.
Dalam konteks mengolah makanan, Tungku merupakan instrumen utama untuk memasak. Tungku dibuat dari lapisan pasir dan kayu yang diletakan diatas lembaran pelepah sagu agar tidak membakar lantai. Sumber api yang berasal dari tungku digunakan untuk membakar bola sagu dan makanan lainnya. Sebatang kayu berfungsi sebagai pengambil makanan dan bahan bakar tungku.
KAMPUNG
(RESETTLEMENT)
Resettlement menjadi area yg dekat dan mudah terpapar oleh pengaruh dari luar. Contoh kampung yang ada di resettlement adalah Yafufla & Sinimburu. Kampung dapat diakses melalui sungai dengan pola kampung terpusat dan berdampingan.
KAMPUNG YAFUFLA
Yafufla adalah nama sebuah kampung yang berada di pinggir sungai, jejeran rumahnya terletak di atas bukit. Kampung ini terdapat 2 suku yang tinggal, suku Korowai dan Kombai. Bangunan-bangunan yang ada memiliki orientasi menghadap ke jalan. Hal ini sangat berbeda dengan dusun yang memiliki orientasi arah matahari. Bukan hanya sekadar tumpukan pasir putih yang padat rapi dan panjang, tetapi jalan membentuk hubungan antar bangunan. Semua warga melalui jalan ini. Ruang setiap pribadi terbuka untuk dilihat orang lain dan diketahui orang lain apa yang akan dilakukan. Orientasi individu berubah menjadi keinginan melihat sosial.
Beberapa rumah warga memiliki elevasi lebih rendah dari rumah tinggi. Tidak hanya elevasi yang berubah, tetapi juga perubahan cara membangun rumah yang berbeda dari rumah pohon. Terdapat dua jenis rumah dari penduduk Yafufula dibedakan dari asal materialnya. Terdapat rumah yang dibuat dari olahan kayu pohon lokal dibantu peralatan dasar seperti gergaji, paku, dan palu untuk menghaluskannya. Bagian atap dibuat dari seng tanpa plafon, dengan engsel pada pintu dan jendela. Beberapa rumah juga mulai menggunakan semen dan batako sebagai bagian pondasi.
Sementara pada rumah dengan material kayu sagu, proses konstruksinya hampir sama. Namun tidak menggunakan kayu dan seng melainkan tali akar sebagai perekat sendi dengan daun sagu sebagai atap. Jenis kedua masih membawa ciri kesukuan dengan keberadaan kolong rumah setinggi 1 - 1,4 meter. Hal ini dilakukan untuk mencegah hewan memasuki rumah. Kolong rumah yang gelap, diisi oleh ayam dan sampah. Kebiasaaan suku korowai menjatuhkan sisa makanan kebawah pun tetap dilakukan, dan kebiasaaan menggantung pun tetap dilakukan. Kolong menjadi identitas perubahan yang signifikan. Perubahan elevasi memberikan sebuah identitas baru bagi suku Korowai. Namun, pada beberapa rumah yang baru dibangun kolong tidak ditemukan tetapi digantikan daun pintu.
PROSES PENGOLAHAN SAGU
Proses memangkur sagu (memanen sagu) merupakan hal yang sangat penting bagi suku korowai sebab sagu (Ho) merupakan makanan pokok mereka. Saat memangkur sagu suku korowai dapat membedakan antara sagu yang dapat dipanen dan belum. Salah satu indikasi pohon sagu yang matang adalah ukuran batang yang besar dengan daun tinggi menjulang.
Kegiatan ini dimulai dengan menebang pohon sagu. Hal ini membutuhkan tenaga dua orang laki-laki; satu menggunakan kapak batu, dan satu menggunakan kayu panjang berujungnya runcing seperti bambu.Titik tebang sejajar dengan dada untuk menyesuaikan arah kapak dan mendukung proses berikutnya.
Mereka akan berhenti sesekali untuk membersihkan bagian pohon sebelum melanjutkan kembali proses menebang. Saat berhenti, bambu runcing berguna untuk mencungkil bagian yang sudah terkikis kapak. Kira-kira dalam 60 menit proses penebangan pohon sagu telah selesai.