arrow
Kembali

Orang Laut (2019)

“Pengarung Lautan Beratap Kajang”

“‘Pengarung lautan beratap kajang’, melaut adalah aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari Orang Laut. ‘Pia de duano, pi de dola’ artinya tidak ada Orang Laut yang tak berasal dari laut, kemanapun pergi tetap merindukan laut, kutipan dari suku Duano.

Lokasi:
Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau dan Kabupaten Indragiri Hilir, Riau
Tahun Keberangkatan:
2019
Ketua Panitia:
Maghfirasari Adhani
Kurator:
Farah Fitria Salsabilla

Perjalanan untuk mencari Orang Laut dilandasi oleh pemahaman bahwa Orang Laut adalah sekumpulan manusia yang berkehidupan di laut dan pernah tinggal di atas sampan beratapkan kajang.

Ekskursi Orang Laut mengunjungi dua daerah, yaitu Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.

Nenek moyang Orang Laut di Kabupaten Lingga dan Kabupaten Indragiri Hilir memiliki kesamaan, yaitu pernah tinggal di sampan beratapkan kajang. Namun, kini Orang Laut di Indragiri Hilir, yang selanjutnya akan disebut sebagai suku Duano, sudah tidak memiliki kebiasaan untuk membuat kajang.

oleh Lintang Kirana dan Ferdinand Teguh


SUKU ASLI DITAJUR BIRU, LINGGA

oleh Melina Anggita dan Talitha Rohmah

Suku Asli di Desa Tajur Biru terbagi menjadi dua dusun kecil, yaitu Air Bingkai dan Kampung Baru. Air Bingkai berada tepat di seberang dermaga induk dengan populasi yang lebih banyak dibanding Kampung Baru, sedangkan Kampung Baru berada di selatan Air Bingkai.

Meski pasang surut air laut banyak memberi pengaruh pada keseharian Orang Laut, hal ini tidak sampai menjadi hambatan bagi mereka untuk melaut. Orang Laut suku Asli tetap berangkat dan mencari hasil laut setiap hari untuk penghidupan baik ketika surut maupun pasang.

Meski pasang surut air laut banyak memberi pengaruh pada keseharian Orang Laut, hal ini tidak sampai menjadi hambatan bagi mereka untuk melaut. Orang Laut suku Asli tetap berangkat dan mencari hasil laut setiap hari untuk penghidupan baik ketika surut maupun pasang.


ORANG LAUT SUKU ASLI BERTINGGAL

oleh Diana Farah I.


Menjalani kehidupan di atas perairan, Orang Laut suku Asli memiliki tempat untuk berpulang, yang tetap dekat dengan laut sebagai tempat hidup mereka. Entah mendayung berapa jam, hari, hingga bulan mereka tetap mengingat alur pulang ke bangun di atas air ini.

Rumah yang saat ini ditinggali suku Asli merupakan rumah bantuan yang diberikan oleh pemerintah sejak tahun 2012. Pemerintah berusaha untuk membuatkan rumah untuk mereka tinggali agar Orang Laut yang sering kali berpindah-pindah titik melalui lautan ini mudah didata keberadaannya. Namun, bantuan yang diberikan pemerintah hanya berupa bahan baku seperti kayu untuk dinding dan lantai rumah, serta seng untuk atap.



RUMAH PANCANG

oleh Diana Farah I.


Rumah pancang merupakan rumah bantuan yang mereka buat sendiri menggunakan material yang dibayari oleh pemerintah, berbentuk seperti rumah panggung dengan pancang sekitar dua setengah meter sehingga lantai dasar rumah mereka berada di atas permukaan laut. Pancang diperlukan agar lantai mereka tidak menyentuh air laut apabila sedang pasang.

Di bagian depan rumah ada teras atau pelantar yang panjang untuk tempat menjemur hasil laut. Di bagian depan pelantar tersebut ada tangga yang diikat dengan tali ke pelantar yang terikat dengan pancang. Pelantar tersebut tidak dilindungi oleh atap, sedangkan teras yang berada di depan rumah dilindungi oleh atap. Di bagian dalam rumah hanya terdapat satu sekat di satu perempat bagian rumah yang diisi dengan satu tempat tidur. Di bagian belakang rumah biasanya berbeda-beda tiap rumah. Ada rumah yang di bagian belakangnya digunakan untuk dapur, ada pula yang digunakan untuk bengkel membuat sampan. Rumah - rumah ini terkoneksi satu sama lain.

Cara memasang pancang yaitu dengan membentuk kayu menjadi huruf T dan bagian yang horizontal diinjak-injak agar pancang bisa menembus masuk ke dalam pasir. Kedalaman pancang yang masuk ke dalam pasir setinggi 1,5 meter. Sambungan yang digunakan untuk menghubungkan kayu pancang dengan kayu lantai terdapat beberapa cara. Ada yang dipaku dan ada juga yang diikat menggunakan tali. Setelah itu, dipasang kayu untuk dinding rumah yang disusun dari atas ke bawah dan disambungkan dengan paku.


SAPAU

oleh Amani Tedjowongso dan Warda Lutfiah R.


Sebuah sapau dibangun untuk fungsi-fungsi yang bersifat sementara. Saat masih menggunakan sampan kajang untuk tempat bertinggal, sapau biasa dibangun untuk tempat bertinggal sementara.

Struktur utamanya terdiri dari penyangga, sementara bagian non-struktural menggunakan penyangga dan pelapis.


Struktur utama rumah sapau menggunakan beberapa batang kayu untuk pondasi. Pondasi tersebut menancap ke dalam pasir dan berhenti pada balok pertama yang melintang di bawah papan kayu untuk lantai.

Bagian non-struktural seperti tembok, sekat dan atap menggunakan material tipis yang serupa misalnya daun sagu, kajang, atau terpal. Untuk memperkuat bagian non-struktural dibuat kerangka semacam kolom praktis dari kayu balok atau bambu, yang kebanyakan disatukan dengan cara diikat atau dipaku, setelah itu baru dilapis dengan material yang tipis yang diikatkan ke kerangka.


RITUAL PENGUSIR SIAL

Oleh: Talitha Rohmah


Orang Laut memiliki keyakinan akan ritual dan mantra, atau biasa disebut jampe. Ritual berisi tindakan-tindakan disertai dengan doa, yang dapat berbeda-beda bentuknya mengingat Orang Laut di beberapa tempat menganut agama yang berbeda, tergantung pada agama yang sedang dibawa dan diajarkan ke lingkungan mereka pada saat itu.


Selain untuk mengobati luka dengan cara mengusap luka tersebut menggunakan air yang telah dijampe, jampe juga digunakan untuk doa sebelum melaut agar selamat dalam perjalanan. Mereka percaya bahwa yang mereka lakukan adalah suatu permohonan, namun terjadi atau tidaknya, tetap Tuhan yang menentukan. Salah satu ritual yang mereka lakukan adalah ritual pengusir sial agar terhindar dari penyakit, utamanya dimaksudkan untuk menghilangkan hantu laut, makhluk yang sering berkeliaran melewati kepala manusia dan membawa penyakit.

Serapah Saat Dihadang Ombak Besar di Laut

Bismillah
Bangkai tidak bernyawa
Awas kau ke tepi
Muhammad melalu



DAUR HIDUP SUKU ASLI

oleh Maghfirasari Adhani dan Bedseba Yolanda Agusiwi


KELAHIRAN

Beberapa puluh tahun lalu, bayi suku Asli dilahirkan di dalam sampan dengan bantuan orang ahli dalam suku Asli yang disebut sebagai bidan. Namun dewasa ini, proses kelahiran telah dibantu oleh para bidan dari Puskesmas Kecamatan Temiang Pesisir.

Ketika melahirkan di sampan, bidan pertama berhadapan dengan sang ibu dan menadahkan tangannya untuk menangkap bayi yang keluar dari rahim. Sedangkan bidan kedua akan memegang pundak sang ibu dari belakang untuk menjaga keselamatan kepala sang ibu sekaligus membantu proses pendorongan bayi.

Setelah sang bayi berada di tangan bidan pertama, bayi tersebut akan dimandikan dengan air bersih yang biasanya disimpan di jeriken plastik pada salah satu sisi sampan. Menurut kepercayaan suku Asli, bayi yang baru lahir harus disembur dengan air bersih yang telah diucapkan serapah oleh sang bidan agar bayi tersebut tumbuh menjadi bayi yang tenang.

Berikut serapah yang biasanya diucapkan oleh sang bidan sebagai doa untuk sang bayi:

Satu sawan, dua sawan, tiga sawan, empat sawan, lima sawan, enam sawan, tujuh sawan, delapan sawan, sembilan sawan, sepuluh sawan

Aku menawa agung. Seratus sembilan puluh