SERAM
"Jejak Hutan dalam Arsitektur"
Oleh Dwiki Febri Ristanto
Di antara Laut Sulawesi dan Laut Banda, gugusan pulau kecil tersebar mengisi bentang jarak Sulawesi dan Papua. Maluku namanya. Di sebelah utara terdapat miniatur Sulawesi, pulau menyerupai huruf “k” yang bernama Halmahera. Di tenggara dua pulau kakak-beradik berdampingan dinamai Kei Besar dan Kei Kecil. Tanah Manise terbesar yang satu lagi, yang posisinya tepat menengahi Halmahera dan Kei, tidak dinamai sedemikian manis. Pulau itu dinamai Seram.Secara adat, teritori Seram menyebutkan struktur terkecil sebagai Dusun dan kumpulan dusun-dusun disebut dengan Negeri.
1. BERANG
Kain merah yang dilipat menjadi segitiga, dipakai ketika laki-laki sudah memasuki fase dewasa melalui upacara mendapatkan kedewasaan yang dikenal dengan Metahene.
2. TIFA
Alat musik yang terbuat dari kulit hewan dan dihiasi ornamen. Tifa hanya boleh dipukul oleh ketua adat atau marga dan digunakan saat memanggil orang pada upacara, mendirikan rumah bersama-sama, dan mengiringi tarian maku-maku serta cakalele.
3. NYIRU
Wadah anyaman yang terbuat dari rotan atau bambu untuk menyimpan sirih, pinang, rokok, bumbu dapur. Nyiru memiliki bentuk kubus, bundar, dan juga kerucut untuk menangkap ikan di sungai. Selain bentuk, warna dan corak nyiru juga beragam.
4. TENUE-SALAWAKU
Tenue adalah semacam pisau besar seperti parang, sedangkan salawaku adalah perisai yang ukurannya sebesar lengan penggunanya. Karena itu, ukurannya dapat disesuaikan dengan ukuran lengan penggunanya.
5. BUBUK SAGU, PAPEDA
Makanan khas Pulau Seram berasal dari pohon sagu. Papeda dibuat dari bubuk sagu, yang diambil dari pohon sagu, kemudian diberi air hangat, bertekstur kental, lengket, dan transparan. Papeda dimakan menggunakan alat makan semacam sumpit yang disebut dengan gata-gata. Makanan ini merupakan menu wajib untuk acara penting, bersama dengan kuah ikan yang dituang di atasnya.
HUAULU
"1 untuk 1000 yang Telah Hilang"
MAHA RIMBA
Oleh Achmad Soerio Hutomo dan Nurul Afifah
Berbatasan dengan gunung dan hutan. Tanah rimba memiliki peran lebih dari sekadar peneduh bagi masyarakat di Negeri Huaulu. Mereka mengandalkan hutan sebagai mata pencaharian, bahan makanan, serta material untuk bangunan ataupun kerajinan tangan. Pohon sagu yang menjadi sumber daya utama yang diambil untuk berbagai kebutuhan seperti pembuatan papeda dan atap rumbia.
HUAULU BERSELIMUT HUTAN
Oleh Nurul Afifah
Pola kampung Negeri Huaulu berbentuk radial memanjang. Huaulu hanya memiliki satu akses sekaligus jalan utama yang terletak pada bagian tengah dengan posisi rumah yang saling berhadapan, akses dan pola ini menjadi media pembagi Huaulu. Di bagian tengah, terdapat satu rumah adat yang berfungsi untuk keperluan masyarakat Huaulu dan juga kepentingan adat, yaitu Baileo.Berbentuk radial memanjang dengan satu akses sekaligus jalan utama pada bagian tengah. Sedangkan di bagian luar kampung, terdapat Diliposo yaitu rumah yang diperuntukkan untuk buang air dan juga rumah yang digunakkan perempuan ketika menstruasi. Rumah ini tersebar di luar kampung secara merata.
BAILEO
“Mendaki, Tumbuh, Menetap”
Oleh Annisa Noor K. A.
Baileo merupakan arsitektur yang ditemukan di Negeri Huaulu, Pulau Seram. Jika dilihat dari bentuknya, Baileo Huaulu mempunyai bentuk yang hampir sama dengan keseluruhan rumah tinggal yang ada di Huaulu namun terdapat perbedaan signifikan dalam segi luas. Luas Baileo dapat mencapai dua kali luas rumah tinggal biasa karena di Baileo ini selain digunakan sebagai tempat berkumpul dan kepentingan adat, juga digunakan sebagai tempat tinggal sehari-hari oleh salah satu marga dari kesepuluh marga di Huaulu.
KASONEPE
Oleh Achmad Soerio Hutomo dan Muhammad Rendy Abdillah
Menurut Bapak Raja Huaulu semua material yang digunakan pada Baileo berasal dari hutan. Material penutup atap terbuat dari daun sagu yang dianyam kemudian dikeringkan. Penggabungan antara anyaman atap menggunakan ikatan rotan yang juga digunakan sebagai pengikat keseluruhan struktur yang ada di rumah Baileo dan dinding Baileo juga tidak lepas dari material sagu yang disebut kasonepe (pelepah sagu kering) yang didapat dari hutan.
KONSTRUKSI BAILEO HUAULU
Oleh Achmad Soerio Hutomo dan Muhammad Rendy Abdillah
Proses pembangunan Baileo dimulai dari timur hingga ke barat karena mereka percaya bahwa hal baik berada di bagian matahari terbit. Pengerjaannya dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat Huaulu, namun marga yang bertanggung jawab harus menyiapkan makanan untuk seluruh masyarakat, khususnya laki-laki, yang terlibat dalam proses pembangunan. Pagi hingga sore hari menjadi waktu dilakukannya pembangunan Baileo, dengan iringan suara tifa. Saat matahari terbenam, pengerjaan dan tifa dihentikan kemudian seluruh masyarakat beristirahat dan makan bersama.
Struktur Baileo memiliki kolom-kolom utama yang menerus dari tanah hingga ke atap. Kolom tersebut menggunakan kayu berdiameter sekitar 15 cm - 20 cm tanpa disambung. Untuk menopang bagian lantai digunakan dua lapis balok-balok kayu yang disusun secara bersilang di atas pondasi yang menancap ke tanah. Sebagai penutup lantai, digunakan kulit bambu yang disusun sejajar tanpa dianyam. Pembatas ruang (dinding) pada Baileo, atau biasa disebut dinding, menggunakan batang pohon sagu atau gaba-gaba yang disusun menumpuk kemudian diikat pada kolom yang menerus. Bagian atap menggunakan balok kayu sebagai rangka atap yang berbentuk seperti prisma segitiga dengan sisi panjang yang berupa trapesium. Material yang digunakan sebagai penutup atap adalah daun sagu yang dianyam dan telah dikeringkan, atau biasa disebut sebagai atap rumbia, diikat dan disusun di atas rangka atap.
ZONASI RUANG BAILEO
Oleh Annisa Noor K. A. dan Fachrian Nabil Fauzi
Baileo terdiri dari ruang tengah sebagai tempat berkumpul, dapur, dan tempat tidur bagi keluarga penjaga rumah adat. Ruang berkumpul yang terletak pada bagian tengah ruangan memiliki area tepian berupa undakan guna menjadi tempat duduk-duduk setiap harinya. Saat berlangsungnya acara adat, khusus tetua adat menempati sudut Baileo yang berseberangan dengan dengan pintu masuk utama, sedangkan untuk tamu wanita biasanya menempati ruangan sebelah dapur.
Selain memisahkan organisasi ruang menjadi tiga segmen, Baileo Huaulu juga dapat terbagi menjadi dua segmen ruang. Organisasi dua segmen hanya memisahkan antara ruang komunal dengan ruang dapur. Dalam menentukan segmentasi organisasi ruang Baileo, harus adanya pesetujuan dari semua marga terlebih dahulu.
ROHUA
Oleh Anissa Pramesti dan Dwiki Febri Ristanto
Dusun Rohua terletak di antara perbatasan hutan dan lautan di selatan Pulau Seram. Di sisi utara dusun, terdapat hutan dengan kontur yang terjal dan menanjak. Hutan inilah yang menjadi sumber penghidupan penduduk Dusun Rohua, membuat mereka harus menaiki kontur terjal setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Daerah pemukimannya terletak di kaki hutan tepat di daerah transisi hutan menuju pantai.
Dusun Rohua memiliki pola lokasi rumah adat yang jelas. Bagian utara, yakni wilayah dusun yang berbatasan langsung dengan hutan, merupakan bagian yang diisi oleh rumah-rumah besar milik setiap marga. Sedangkan, bagian selatan atau pesisir yang lebih modern diisi oleh berbagai rumah tinggal.
NUMA ONATE MATOKKE
Oleh Fahmi Arifin, Husni Fadhil Maulana, Reza Muhammad, dan Annisa Noor K. A.
Numa Onate Matokke merupakan rumah adat utama di Dusun Rohua karena marga Matokke, marga utama di Rohua, mendiami rumah tersebut. Numa Onate sendiri berarti rumah besar. Numa Onate Matokke dihuni oleh keluarga dari kepala adat marga Matokke.
Numa Onate Matokke menjadi batas rumah di paling timur Dusun Rohua, seolah-olah menjadi penjaga Dusun Rohua karena letaknya yang berada di ujung Rohua. Numa Onate berfungsi sebagai pengganti dari Baileo yang tidak ada di Dusun Rohua sehingga acara-acara adat dapat dilakukan di rumah besar ini.
Struktur pada numa Onate terbagi menjadi tiga segmen, yaitu pondasi (kaki rumah panggung), badan rumah, dan rangka atap. Terdapat tujuh buah tiang utama, salah satunya merupakan tiang Ka’bah yang menjulang dari pondasi hingga ke rangka atap sehingga selain menjadi penahan beban utama, ia juga memperkokoh keseleruhan bentuk numa Onate.
Zonasi ruang numa Onate Matokke terdiri dari ruang berkumpul, ruang istirahat, ruang penyimpanan, dan ruang ibadah. Ruang berkumpul terletak pada ruang bagian tengah, ruangan ini terdiri dari bagian atas (berundak) serta bagian bawah. Ruang kumpul berundak lebih diperuntukkan bagi laki-laki. Bagian utara undakan berfungsi sebagai tempat untuk menaruh sesembahan, sementara untuk bagian undakan lainnya dapat digunakan untuk tempat berkumpul dan tempat tidur para lelaki. Pada bagian bawah digunakan sebagai area tempat berkumpul masyarakat ketika ada acara adat baik untuk wanita ataupun laki-laki.
NUMA ONATE SOUNAWE
Oleh Alifiyah Nabila dan Dwiki Febri Ristanto
Numa Onate Sounawe Kapanusa merupakan rumah adat bagi marga Sounawe Kapanusa. Digunakan ketua adat sebagai tempat untuk beribadah atau mengadakan acara adat. Rumah adat semestinya ditinggali oleh sang ketua adat dan keluarganya, namun keluarga ketua adat lebih memilih untuk tinggal di rumah papan yang tidak jauh dari rumah adat. Penggunaan listrik menjadi alasan mereka lebih memilih tinggal di rumah papan. Pada numa Onate, listrik menjadi barang terlarang yang hadir pada rumah adat.
Numa Onate Sounawe terdiri dari satu ruangan besar tak bersekat dan ruangan kecil di bagian baratnya. Terdapat undakan kecil di bagian timur dan sebagian dari bagian utara rumah yang digunakan sebagai tempat duduk, tempat beristirahat, dan tempat menerima tamu adat. Zona ruang ini hanya boleh digunakan oleh laki-laki.
NUMA KAPITAN SOUNAWE
Oleh Fahmi Arifin dan Anissa Pramesti
Numa Kapitan Sounawe Dusun Rohua dihuni oleh Bapak wakil ketua adat marga Sounawe Ainakahata. Numa Kapitan cenderung mirip dengan numa Onate dari segi filosofis, orientasi, material, dan bentuk, yang berbeda hanya dari segi ukuran di mana ukuran numa Kapitan relatif lebih kecil.
Di dalam numa Kapitan, terdapat ruang berkumpul, ruang istirahat, ruang penyimpanan, dan ruang ibadah. Ruang berkumpul terletak pada ruang bagian tengah, terdiri dari bagian atas berundak serta bagian bawahnya. Ruang kumpul berundak lebih diperuntukan untuk kaum laki-laki. Bagian utara undakan berfungsi sebagai tempat untuk menaruh sesembahan, sementara bagian undakan lainnya dapat digunakan untuk tempat berkumpul dan tempat tidur para lelaki. Ruang berkumpul bagian bawah digunakan sebagai tempat berkumpul masyarakat ketika ada acara adat baik untuk wanita ataupun laki-laki.
NUMA NUHUNE
Oleh Aisyah Nur Faidah
Bentuk dari numa Nuhune secara kasat mata tidak jauh berbeda dengan bangunan lainnya di Dusun Rohua. Ukuran numa Nuhune tidak lebih besar jika dibandingkan dengan numa Onate Matoke, hanya sekitar ¼ kali sampai ½ kali ukuran numa Onate Matoke. Perbedaan terletak pada fasadnya yang tidak menggunakan dinding gaba-gaba. Selain perbedaan pada fasad, numa Nuhune tidak memiliki teras yang membentang di samping tangga. Sehingga tangga terlihat berada langsung di depan pintu rumah.
Di dalam numa Nuhune, acara makasusu (perayaan kelahiran) akan dilangsungkan. Acara ini dilakukan oleh marga Matokke yang akan akan dihadiri oleh keluarga besar marga Matokke dan marga lain yang masih menjadi keluarga dari orang yang melahirkan.
OYANG
Oleh Albertus Bramantya dan Alifiyah Nabila
Oyang adalah entitas yang disembah oleh orang Nuaulu. Wujud dan asal dari Oyang di setiap marga berbeda-beda dan mereka mempercayai jika mereka diciptakan oleh Oyang tersebut. Hal itu membuat kehidupan sehari-hari orang Nuaulu sangat dipengaruhi oleh ajaran dan kehadiran Oyang, seperti pada pamali yang berlaku, orientasi rumah, dan juga adat istiadat yang berlaku di sana.
“Tanah Ibu dan Langit Bapak” merupakan sebuah ungkapan dalam kehidupan masyarakat Nuaulu. Sejatinya, menurut bapak ketua adat Hahualan anak itu lahir ke bumi harus dekat dengan bapak, sebagai konsepsi merupakan sosok yang tinggal di langit. Sedangkan ibu, merupakan konsepsi dari apa yang kita sebut sebagai ibu pertiwi atau dalam artian bumi. Namun, anak yang lahir tidak mungkin dapat mengikuti bapaknya untuk tinggal di langit, dan oleh sebab itu anak akan tinggal di bumi, bersama ibu.
Justifikasi terhadap patriarki sangat mendarah daging di kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini terlihat dalam organisasi ruang di rumah tinggal. Adanya pemisahan area dapur dengan area hunian menjadikan dapur hanya digunakan oleh perempuan dan laki-laki tidak boleh mencampuri urusan perempuan.
Oleh Ahmad Fadlan Awriya dan Albertus Bramantya
Secara umum, manusia menggunakan arah mata angin, seperti utara, timur, selatan, barat. Untuk suku Nuaulu sendiri sebenarnya mereka juga menggunakan arah mata angin yang sama. Namun, ada beberapa cara atau patokan yang digunakan oleh mereka, yaitu dengan mengorientasikan diri mereka dengan hutan dan juga laut, di mana kita melihat bahwa dusun mereka berada di antara laut dan gunung.
Dilihat dari sejarah, suku Nuaulu ini nomaden dan berasal dari hutan. Mereka juga menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan mereka, mulai dari makanan sampai bahan membangun rumah. Mereka menggunakan istilah dara (hutan) dan lau (laut) sebagai penunjuk arah, mengingat pada dasarnya dusun mereka berada di wilayah pesisir. Pengertian dara di sini yaitu terletak di dusun bagian atas, sedangkan lau yang dekat dengan pantai berada di dusun bagian bawah.
Salah satu kebudayaan masyarakat suku Nuaulu adalah berburu. Hal tersebut yang menjadikan berburu sebagai salah satu kegiatan utama masyarakat suku Nuaulu, khususnya kaum pria. Sejak kecil, lelaki suku Nuaulu sudah berlatih berburu, terlihat dari banyaknya anak laki-laki yang berburu binatang-binatang kecil seperti kadal, burung, dan binatang kecil lain. Alat-alat yang digunakan oleh anak-anak biasanya terbuat dari rotan yang dibentuk menjadi anak panah dan busur, lalu biasanya mereka berkeliling kampung untuk berburu.