arrow
Kembali

Timor (2020)

“Tertanam di Atas Tanah, Tumbuh dengan Tradisi: Arsitektur Boti”

Lokasi:
Desa Boti, Kecamatan Kie, Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur
Tahun Keberangkatan:
2020
Ketua Panitia:
Mohamad Irvansyah
Kurator:
Alya Hasna R. R., Alifia Azzahra

Desa Ladang di Tengah Perbukitan 

Oleh: Mohamad Irvansyah


Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi yang terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh Laut Sawu. Kawasan timur dari nusa tenggara ini pun berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Republik Demokratik Timor Leste yang terletak di Pulau Timor.

Pulau Timor terdiri atas beberapa kabupaten, yaitu Kota dan Kabupaten Kupang, Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, dan Timor Tengah Selatan. Perjalanan dari kota menuju area-area di penjuru pulau ini dihadapkan dengan medan yang cukup terjal karena pulau ini memiliki karakteristik perbukitan yang sangat variatif, dihiasi oleh area kebun dan hutan, serta jalan yang berkelok-kelok. 

Penduduk asli suku Dawan di Pulau Timor memiliki keunikan dalam membentuk teritori. Dahulu wilayah ini terdiri dari banyak kerajaan. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin oleh pemimpin adat atau Usif yang bertinggal pada area rumah yang disebut sebagai Sonaf. Di sisi lain, pemerintahan administratif juga tetap ada hingga lingkup yang paling kecil, yaitu dusun-dusun yang membentuk desa. Kedua sistem pemerintahan ini berjalan secara berdampingan dan menghormati satu dengan yang lain. 


Secara demografis, masyarakat suku Dawan di Pulau Timor yang beragam hidup secara bersama-sama. Sebagian warga ada yang menganut kepercayaan suku dan ada yang menganut agama dari luar pulau yang lebih modern. Kebijaksanaan pemimpin adat juga mengatur bagaimana interaksi serta memberikan panduan berkehidupan untuk masyarakat, bagaimana mereka berkeluarga, berketurunan, berinteraksi, serta untuk menjaga kebiasaan serta tradisi dari suku Dawan untuk tetap dapat lestari. Dari sisi yang lain, ketaatan masyarakat kepada pemimpin adat serta pemerintah administratif juga menjaga keberlangsungan ini.


Boti pada Geografisnya

Oleh: Akmal Kurnia

Secara administratif, Desa Boti terletak di daerah pegunungan yang berada di kecamatan Kie, Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jarak Soe-Boti kurang lebih sejauh 30 km dengan waktu tempuh 3-4 jam perjalanan dan jalan yang sebagian masih belum teraspal. Dengan luas sekitar 16.500 ha dan jumlah penduduk 2155 orang berdasarkan data penduduk tahun 2019, Desa Boti memiliki kantor pemerintahan yang terletak di Timur Laut Kampung Adat, yaitu pelayanan masyarakat terkait kependudukan dilaksanakan disana.


Secara geografis, bagian selatan Desa Boti berbatasan dengan Desa Nunbena, sedangkan di bagian Barat berbatasan dengan Desa Nakfunu. Sonaf atau kampung adat memiliki wilayah sendiri dan tidak menyebar. Wilayah tersebut berada di dekat pemukiman serta kantor desa. Jaraknya yang dekat memudahkan kepala desa berkoordinasi dengan kepala adat. Namun, karena berada di pegunungan, aksesnya masih naik turun dan tidak menggunakan aspal. Desa Boti juga dikelilingi oleh beberapa gunung seperti Tubu Santian di Tenggara, Tubu Koko di Barat, Tubu Neo dan Tubu Hue di Barat Laut, dan Tubu Nakpes yang masih ada di wilayah selatan desa Boti. Warga Desa Boti yang tidak tinggal di kampung adat, menetap di sekitar kantor desa dan sonaf. Beberapa dari mereka yang berada di luar masih mempercayai kepercayaan adat dan beberapa sudah memeluk agama. 


Air menjadi sumber alam utama yang digunakan masyarakat dan diambil dari kali-kali yang membentang di Desa Boti. Namun, ketika sedang musim hujan, air hujan dimanfaatkan untuk kebutuhan air mereka seperti mencuci baju, membersihkan badan, mencuci alat makan, dan lain-lain. Ketika musim kemarau datang, mereka harus menyimpan cadangan air mereka dan mengambil air dari sumber air. Jarak yang mereka tempuh untuk ke sumber air tidak dekat. 


Keseharian masyarakat biasa diisi dengan berkebun atau beternak. Hasil kebun dan ternak untuk dikonsumsi kembali oleh keluarga mereka atau beberapa dari hasil ternak mereka jual. Dari observasi yang dilakukan, terlihat bahwa Desa Boti membagi wilayah bermukimnya menjadi dua, yaitu wilayah perkebunan dan wilayah peternakan. Pada wilayah perkebunan, hampir seluruh wilayahnya ditanami dengan jagung. Namun, terdapat beberapa variasi lain seperti jamur. Untuk wilayah peternakan, hewan ternaknya adalah sapi, babi, ayam, dan kambing. Hewan tersebut mereka lepas di wilayah peternakan, bebas berkeliaran di wilayah tersebut. Tidak ada perbedaan lain selain fungsi untuk kebun dan ternak karena pada keduanya tetap ada rumah warga serta fasilitas publik seperti rumah ibadah.


Daur Hidup

Oleh: Alifiyah Nabila dan M. Arif Siguntang

Kehidupan bagi masyarakat Boti dimulai pada saat anak terlahir di dunia hingga saatnya mereka pergi meninggalkan dunia. Walaupun demikian, masyarakat Boti yang terdiri dari Halaika dan Non- Halaika memiliki pemaknaannya masing-masing terhadap setiap tahapan kehidupan.

Ketika bayi dilahirkan ke dunia, proses kelahiran akan dilakukan di Ume Kbubu dan dilanjutkan dengan bertinggal di dalamnya selama 40 hari tanpa sang bapak. Ritual tersebut merupakan ritual yang sampai saat ini masih dijalani oleh masyarakat adat. Setelah 40 hari tersebut telah berlalu, akan diadakannya upacara adat untuk merayakan dan menyambut bayi tersebut. Ari-ari dari bayi yang baru lahir akan digantung pada sebuah pohon dengan posisi ari- ari bayi laki-laki yang diletakkan lebih tinggi dibandingkan dengan bayi perempuan. Untuk masyarakat yang tidak lagi menganut adat secara kental, mereka sudah beralih kepada puskesmas terdekat dan ari-ari dari bayi yang baru lahir akan di kubur ke dalam tanah.

Setelah tumbuh besar dan mulai memasuki tahap pubertas, masyarakat Boti akan menjalani ritual untuk menyambut fase kehidupan ini. Laki-laki Boti yang telah berumur lebih dari 18 tahun akan melakukan ritual pemotongan kulit kepala bagian penis (kulup) dan dilanjutkan dengan melakukan pembersihan dengan cara melakukan hubungan seksual dengan tiga wanita selain istrinya. Ritual tersebut akan ditutup dengan diadakannya upacara adat yang berlangsung di Ume Lopo. Sedangkan bagi perempuan Boti, upacara adat tahap ini akan dilaksanakan ketika sang perempuan telah mendapatkan haid pertamanya.


Arsitektur

Jurnal Alifiyah Nabila dan M. Arif Siguntang


Jenis

Selama kami melakukan penelitian di Desa Boti, kami menyadari bahwa terdapat berbagai macam jenis dan tipologi arsitektur yang tersebar di dalam setiap kawasan tempat bertinggal masyarakat Boti. Kami juga mendengar cerita dari Pak Seo bahwa awalnya jenis arsitektur yang dimiliki oleh masyarakat Boti adalah Ume Lopo dan Ume Kbubu saja.

Ume Lopo adalah bangunan berbentuk bulat yang berfungsi sebagai tempat menyelenggarakan ritual. Ume Lopo memiliki desain yang terbuka sehingga dapat memudahkan orang-orang yang ingin masuk ke dalamnya dan ‘memaksa’ tamunya untuk duduk bersila di atas tumpukan batu dan pasir yang membentuknya. Dengan bentuk yang dapat memberikan sirkulasi udara serta penghawaan yang baik, Ume Lopo juga biasa digunakan sebagai tempat untuk beristirahat bagi pemiliknya ketika cuaca sedang panas. Ketika duduk di dalam Ume Lopo, terasa sejuknya angin dan teduh dari sinar matahari.

Dilihat dari fungsinya, Ume Lopo dapat dikatakan sebagai bangunan sakral yang hanya dapat dimiliki oleh seseorang dengan jabatan penting di Desa Boti dan mengharuskannya untuk memiliki tempat berkumpul.

Selain Ume Lopo, terdapat rumah yang juga berbentuk bulat dan dikenal dengan sebutan Ume Kbubu. Bangunan ini dapat dijumpai hampir di setiap kawasan bermukim. Berbeda dengan Ume Lopo, Ume Kbubu memiliki desain yang tertutup sesuai dengan fungsinya sebagai tempat untuk bertinggal, melahirkan, memasak serta menyimpan jagung hasil panen untuk cadangan makanan. Desain tertutup tersebut membuat bagian dalam Ume Kbubu menjadi tetap hangat dan cocok untuk dihuni ketika cuaca sedang dingin. Walaupun terkenal dengan sebutan rumah bulat, tidak jarang kami menemukan Ume Kbubu yang telah memiliki pergeseran bentuk menjadi kotak. Rumah ini terdapat di salah satu kawasan tanah yang kami kunjungi.


Seiring dengan pergeseran zaman, terdapat beberapa penyesuaian yang terjadi dalam konsep bertinggal bagi masyarakat Boti. Setelah melakukan observasi, kami menemukan Ume Mnasi yang menjadi bangunan utama berupa rumah tinggal dengan bentuk persegi. Bangunan ini dilengkapi dengan kamar mandi serta tempat untuk menjemur pakaian pada massa yang terpisah dari bangunan utamanya. Kami juga menyadari bahwa terdapat beberapa masyarakat Boti yang menjemur pakaiannya di atas makam beratap yang terletak di kawasan bermukim. Makam tersebut merupakan makam milik masyarakat Boti yang telah menganut agama Kristen atau Katolik.


Tektonik dan Materialitas

Dari perbincangan kami dengan beberapa masyarakat Boti, kami mengetahui bahwa masyarakat Boti mendirikan bangunan mereka secara bergotong-royong walaupun ada pula yang secara individu dan dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia dari alam. Dengan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam, bangunan-bangunan tersebut dapat bertahan dari iklim di Desa Boti hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Pada hari ketiga kami berada di Desa Boti, kami mendapat kesempatan untuk berbincang bersama dengan Pak Seo Sae, seorang warga Desa Boti penganut agama Halaika yang tinggal di wilayah peternakan. Perbincangan kami lakukan di dalam Ume Lopo milik beliau untuk berlindung dari teriknya sinar matahari. Pak Seo bercerita tentang proses dan tahapan pembuatan Ume Lopo miliknya. Proses awal dimulai dengan mengumpulkan material- material yang dibutuhkan dari hutan oleh Pak Seo. Setelah material telah terkumpul, beliau berdoa di tempat akan dibangunnya Ume Lopo sebagai tanda bahwa beliau sudah siap untuk mulai mendirikan Ume Lopo.

Tahapan selanjutnya adalah proses mendirikan Ume Lopo yang dilakukan secara bersama- sama selama satu bulan. Jika dilakukan sendirian, pembangunan dapat memakan waktu hingga tiga sampai empat bulan.

Proses mendirikan Ume Lopo dimulai dengan memasang empat batang hau besi yang menerus dari dalam tanah hingga ke atap sebagai tiang penyangga utama. Selanjutnya, untuk memasang penutup lantai loteng sekaligus plafon bagi lantai dasar serta balok untuk menyangganya, kayu kasuari digunakan dan disusun secara sejajar dan tanpa dianyam dengan posisi horizontal. Kemudian dilanjutkan dengan memasang spar atau rangka atap dari kayu kasuari dengan bentuk melingkar dan ditutupi degan menggunakan hun atau alang- alang yang diikat dengan daun gewang. Tahap terakhir dari proses mendirikan Ume Lopo ialah menyusun Fatu atau batu secara melingkar dan mengelilingi tiang utama tersebut dengan diameter kurang lebih lima meter lalu mengisinya dengan timbunan Afu atau pasir. Setelah itu, permukaan atasnya ditutup kembali dengan menggunakan fatu.

Setelah Ume Lopo berdiri dengan tegak, kokoh, dan siap untuk digunakan, tahap berikutnya adalah melangsungkan upacara ritual adat di dalamnya. Upacara dilaksanakan diiringi dengan nyanyian serta alunan musik oleh pemusik yang berada di dalam Ume Lopo tersebut. Sebagai bentuk syukur, Pak Seo juga menyembelih empat ekor kambing dan juga empat ekor babi untuk merayakannya bersama dengan masyarakat yang tinggal disekitar tanah Pak Seo.


Perkebunan Kawasan Tanah Pak Boi

Oleh: Salmahira Lazuardi

Keluarga Pak Boi merupakan keluarga yang sudah menganut agama Kristen dan beberapa bangunannya sudah didominasi oleh atap seng. Kawasan tanah Pak Boi hanya ditinggali oleh tiga orang, Pak Boi ditemani dengan Mama Doria yang selalu memasak dan menenun juga Elkin yang bersekolah dan membantu keseharian Mama.


Pada Kawasan tanah ini hanya terdapat satu rumah tinggal, satu Ume Lopo, satu Ume Kbubu, Oof, kamar mandi, dan makam. Dari dalam kawasan tanah, terlihat posisi rumah tinggal yang bersebelahan dengan Ume Lopo. Posisi Ume Lopo sangat menarik dikarenakan terletak di pinggir jalan utama. Pada sudut-sudut kawasan tanah ditanami pohon jagung yang ditanam dengan jarak yang rapi. Posisi Ume Kbubu terletak di dekat sudut belakang rumah, lokasi dapur. Sedangkan untuk mencapai kamar mandi dan keperluan air perlu masuk lebih dalam lagi, sehingga Tim selalu menggunakan akses ini sehari-harinya. Di belakang kamar mandi terdapat Oof. Oof yang dimiliki Pak Boi merupakan tempat tinggal babi, dimana antar bagian kandang ini memiliki satu atap seng. Pohon Gewang terletak dibelakang rumah.



Lebih Dekat dengan Pak Boi 

Oleh: M. Rafif Cahyadi


Pak Boi Benu biasa berkegiatan di kantor desa boti sebagai kepala desa, sedangkan keseharian Mama Dortia biasanya diisi dengan melakukan kegiatan rumah tangga. Pagi hari biasanya dimulai dengan memasak. Salah satu makanan pokok yang sering dibuat adalah Bosse. Bosse adalah salah satu makanan tradisional Nusa Tenggara Timur. 


Proses pembuatan Bosse dimulai dari jagung yang dikeringkan, durasinya bisa sampai setahun. Jagung-jagung hasil panen biasanya disimpan di dalam Ume Kbubu dan diasapi hingga kering. Jagung tersebut biasanya disimpan dengan cara digantung di salah satu batang kayu yang melintang di dalam Ume Kbubu supaya tidak dimakan oleh hewan ternak. Setelah itu biji jagung yang sudah kering dipisahkan dengan menggunakan tangan. 

Biji jagung tersebut lalu ditumbuk dengan menggunakan alat yang terbuat dari kayu. Bisa dilakukan dengan posisi berdiri atau duduk, menggunakan dua ataupun satu tangan. Proses menumbuk biasanya memerlukan durasi 30 menit sampai 1 jam. Setelah ditumbuk, biji jagung diayak dengan menggunakan alat yang terbuat dari anyaman. Alat pengayak digerakkan menghentak ke atas sehingga kulitnya terpisah dari bijinya. Memasuki tahap akhir, biji jagung direbus dengan kuah khusus. 

Bosse berperan sebagai makanan pokok, sehingga biasanya disantap dengan lauk seperti ikan bakar. Bosse menjadi makanan pokok karena kondisi tanah di area ini lebih cocok ditanami jagung dibandingkan dengan padi.

Kawasan bermukim Pak Boi Benu terdiri dari dua rumah tinggal atau Ume Mnasi, dua Ume Kbubu yaitu milik Heka Benu dan milik saudara perempuannya, satu Ume Lopo yang dibangun tahun 2017, satu dapur tambahan, satu kamar mandi yang terpisah, kandang ayam atau Manu Oof, kandang babi atau Fafi Oof, dan Makam.


Rumah tinggal digunakan untuk tidur, kegiatan mama menjahit, memasak, dan makan. Ume Kbubu digunakan untuk mengeringkan Jagung. Ume Lopo digunakan untuk menerima tamu, berdiskusi atau rapat. Kamar mandi letaknya terpisah dan karena keluarga Pak Boi sudah memeluk agama Kristen, terdapat makam di dalam kawasan bermukim ini


Rumah tinggal keluarga Pak Boi Benu terdiri atas ruang tamu, tiga kamar tidur, dua dapur, dua teras. Menurut Elkin, kamar tamu terakhir digunakan oleh beberapa mahasiswa yang melakukan KKN. Adanya dua dapur dikarenakan dapur yang di depan kompornya menggunakan minyak tanah dan jarang digunakkan. Dapur yang sering digunakan ialah dapur belakang karena lebih sering memasak menggunakan kayu bakar. Memasak dengan kayu bakar dapat membuat permukaan menjadi hitam, oleh karena itu daput belakang tidak terbuat dari dinding bata melainkan rangka kayu dan beberapa lembar seng. Di sinilah kegiatan memasak sering dilakukan oleh Mama Dortia, dan terkadang dengan bantuan Heka dan Elkin.

Ruang Tamu di depan terdapat kursi-kursi tamu, meja dengan alat jahit, dan juga etalase yang berisi kain tenun karya Mama Dortia. Kain-kain tenun inilah yang membuat beliau sampai pernah mendatangi acara di luar negeri. Kami pun sempat membeli beberapa kain yang terdapat di etalase kaca tersebut.

Ume Lopo terletak di depan kawasan bermukim Pak Boi sehingga terlihat oleh orang- orang yang melintasi jalan di depannya. Ume Lopo terkadang disebut rumah dingin. Memang perasaan itu yang terasa saat memasuki Ume Lopo di siang hari yang terik. Dengan atap yang terbuat dari beberapa lapisan ilalang dan dengan kondisi tidak ada dinding sehingga semua sisi terbuka, saya dapat merasakan dinginnya angin yang melewati Ume Lopo ini. Memasuki Ume Lopo ini, saya perlu melangkahkan kaki cukup tinggi dikarenakan oleh permukaan batu yang tinggi.


Ume Kbubu keluarga Pak Boi terletak di belakang kawasan bermukimnya sehingga kurang terlihat jika hanya melewati depan kawasan bermukim. Ume Kbubu secara sekilas mirip dengan Ume Lopo. Namun, bentuk atapnya turun hingga ke tanah sehingga semua sisinya tertutup dan terkesan lebih privat. Ume Kbubu memiliki dua lantai. Lantai satu boleh dimasuki oleh anggota keluarga, namun lantai dua bersifat sakral sehingga hanya boleh dimasuki oleh ibu keluarga saja. Ume Kbubu memiliki pintu yang kecil dan cukup rendah. Bukaan yang terlihat dari luar tidak memiliki daun pintu karena pintu yang menutup ruang berada di partisi dalam. Area antara bukaan dengan pintu ini sengaja dibuat untuk berteduh dulu dari hujan atau panas sebelum masuk. Kebanyakan kayu dan bambu yang berada di dalam juga sudah berwarna agak hitam dikarenakan proses pengasapan jagung sehingga terasa gelap saat di dalam. Satu satunya sumber pencahayaan adalah satu buah lampu, jadi sebelum ada lampu maka sumber pencahayaan hanya datang dari perapian. Langit-langit bangunan ini bisa dibilang cukup rendah akibatnya saya harus berjalan dengan posisi agak menunduk. Benda-benda yang berada di dalam Ume Kbubu ada wajan besar, tungku, balok kayu, papan kayu dengan karung diletakkan di atasnya. Balok kayu digunakan untuk duduk saat melakukan kegiatan di dalam Ume Kbubu. Balok nya cukup kecil sehingga saat duduk terasa seperti jongkok atau bisa duduk sila dengan kaki ke permukaan tanah.